SUARA HATI, UNTUK SAUDARA-SAUDARA YANG MEMPERBOLEHKAN MENGUCAPKAN “SELAMAT NATAL” KEPADA UMAT NASRANI



SUARA HATI, UNTUK SAUDARA-SAUDARA YANG MEMPERBOLEHKAN MENGUCAPKAN “SELAMAT NATAL” KEPADA UMAT NASRANI
Saudaraku…
Saya yakin ketika anda berpendapat atau berfatwa bahwa boleh mengucapkan “Selamat Natal” untuk umat nasrani, pasti didasarkan oleh hasil ijtihad dan istinbat yang menurut saudara itulah yang benar. Saya berharap mudah-mudahan ijtihad saudara digolongkan oleh Allah kepada apa yang disabdakan Habibuna Muhammad, “Barang siapa berijtihad kemudian keliru, maka baginya satu pahala. Barang siapa berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala”. Amin.
Saudaraku…
Saya masih ingat, tahun 2004 saya pernah bertanya kepada seorang pendeta yang kebetulan dia adalah termasuk rekan al Marhum Abah saya, KH. Abdul Mu’iz, kami bertanya demikian,
“Apakah Bapak Pendeta menganggap abah saya sebagai tokoh yang anti toleransi antar agama?”.
Si pendeta menjawab, “Sejauh yang saya kenal, abah sampean adalah sosok tokoh yang paling toleransi”.
Lalu saya bilang begini, “Abah saya mengharamkan mengucapkan ‘Selamat Natal’ lho, Pak”.
Dia menjawab, “Adik… toleransi dan berhubungan baik antar muslim-kristen itu tidak ada hubungannya dan tidak akan terciderai oleh tidak mengucapkan Selamat Natal. Abah sampean mengharamkan mengucapkan Selamat Natal tetapi sejauh yang saya ketahui, beliaulah tokoh yang paling toleransi ke saya dan teman-teman yang lain. Ne buktinya sampean sudah berapa kali diajak ke rumah saya, dan berapa kali saya diterima dirumah kamu kan?”.
Bukan hanya itu, ketika kami menerbitkan buletin untuk pesantren kami, juga pada tahun 2004, kebetulan kami bekerjasama dengan sebuah percetakan milik seorang Nasrani. Pemilik percetakan itu sangat senang dengan kerjasama dan sikap kami. Dibuktikan dengan kami diperbolehkan keluar masuk ke ruang percetakannya, bahkan rumahnya. Padahal pelanggan yang lain sama sekali tidak ada yang boleh masuk ke ruang percetakannya.
Pada suatu kesempatan, kami pernah ngobrol dengan pemilik percetakan itu, “Saya mengharamkan mengucapkan ‘Selamat Natal’ lho, Om”, begitu saya berterus terang. Kemudian dia menjawab hampir sama dengan jawaban si pendeta teman abah, “Hubungan baik antara muslim dan kristen itu kan tidak ada kaitannya dengan boleh atau tidaknya seseorang mengucapkan ‘Selamat Natal’. Ini buktinya kamu dengan saya kan baik-baik aja. Kamu boleh keluar masuk percetakan dan rumah saya, bahkan makan di rumah saya”.
Saudaraku…
Hb. Riziq Syihab yang terkenal “vokal”, juga yang terkenal intens menyuarakan keharaman mengucapkan selamat natal, justru sering kami nonton beliau tampil di televisi dengan dipresenteri oleh Wimar Witoelar yang notabene adalah Nasrani. Bahkan tersebar di You Tube kunjungan Wimar ke markas FPI. Justru kalau kita tonton videonya sungguh merupakan kunjungan yang dipenuhi keakraban.
Juga, Buya Yahya seorang dai yang juga terkenal getol menyuarakan pendapat haram mengucapkan selamat natal nyatanya sering hadir dalam acara bersama para pendeta.
Dua kejadian nyata yang menimpa saya sendiri dan sedikit contoh realita yang terjadi di Indonesia ini dari sekian banyak contoh yang lain, juga setelah melalui perenungan yang panjang, akhirnya mengantarkan kami kepada sebuah kesimpulan, bahwa toleransi antar umat beragama memang tidak akan terciderai dan tidak akan terhalangi oleh pendapat haram mengucapkan Selamat Natal.
Saudaraku…
Sebagaimana Ayat yang sering saudara utarakan ketika berhujjah untuk memperbolehkan selamat natal, ” Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (al Mumtahinah: 8). Allah sangat mengajurkan kita untuk bertoleransi dan berbuat baik den non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kita. Tetapi -sekalilagi- bukankah toleransi kita dengan rekan-rekan nasrani tidak akan terciderai oleh tidak mengucapkannya kita kalimat “selamat natal” kepada mereka. Dan bukankah masih sangat banyak ruang toleransi selain mengucapkan selamat natal yang tidak menyebabkan gonjang-ganjing di tubuh umat Islam sendiri.

Saudaraku…
Sampai hari ini saya tidak pernah mendengar komplain dari umat nasrani kepada ulama-ulama yang menfatwakan haram mengucapkan selamat natal. Kalaupun ada, saya yakin itu hanya datang dari  satu atau dua orang dari dua miliar umat nasrani yang ada di dunia ini. Sekalilagi, tidak ada komplain dari mereka dan hubungan kita dengan nasrani baik-baik saja meskipun kita tidak mengucapkan selamat natal kepada mereka.
Dan yang terpenting, saya tidak pernah mendengar ada dari kaum nasrani tertarik untuk memeluk agama Islam hanya sekedar dikarenakan kita mengucapkan selamat natal kepada mereka.
Tetapi, saudaraku, ketika saudara berpendapat atau berfatwa boleh mengucapakan selamat natal justru yang terjadi kericuhan di tubuh umat Islam sendiri. Banyak kaum muslimin -bahkan mayoritasnya- menolak pendapat saudara. Bahkan tidak jarang dari mereka menuduh dengan tuduhan tidak-tidak kepada yang memperbolehkan mengucapkan Selamat Natal. Meskipun kami sangat menyayangkan dan sangat tidak setuju kepada mereka-mereka yang menuduh tidak baik terhadap yang memperbolehkan mengucapkan Selamat Natal. Tetapi faktanya sudah jelas, terjadi gonjang-ganjing di tubuh umat Islam disebabkan pendapat yang memperbolehkan mengucapkan Selamat Natal. Dengan kenyataan ini, mungkin sebaiknya simpanlah pendapat saudara itu didalam hati, jangan dikampanyekan. Toh sebagaimana yang sudah kami sitir diatas, toleransi kita dengan umat nasrani tidak akan terciderai jikapun kaum muslimin tidak ada yang mengucapkan Selamat Natal kepada umat nasrani.
Saudaraku…
Mungkin saudara akan meribound kami dengan menyatakan begini, bahwa gonjang-ganjing itu terjadi karena salah mereka sendiri yang mengharamkan mengucapkan selamat natal. Jadi tidak bisa dijadikan dasar untuk mengkelirukan kami (yang memperbolehkan mengucapkan selamat natal). Maka saudaraku… kalaupun benar gonjang-ganjing ditubuh kaum muslimin mengenai mengucapkan Selamat Natal ini hanya disebabkan oleh mereka- mereka yang mengharamkan, tetapi bukankah “dar- ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalb al mashaalih” (meninggalkan kemafsadatan lebih dikedepankan daripada mendatangkan kemaslahatan)?! Mengucapkan Selamat Natal -menurut saudara- bisa mendatangkan kemaslahatan, maka, bukankah gonjang-ganjing, meskipun kita katakan bahwa yang menyebabkannya adalah yang mengharamkan itu sendiri, ditubuh umat Islam itu mafsadat?!
Demikian pula, bukankah telah sama-sama kita ketahui sebuah kaidah yang menyebutkan, “al khurûj min al khilâfi mustahabbun” (keluar dari persoalan yang diperselisihkan adalah dianjurkan)?!

0 Response to "SUARA HATI, UNTUK SAUDARA-SAUDARA YANG MEMPERBOLEHKAN MENGUCAPKAN “SELAMAT NATAL” KEPADA UMAT NASRANI"

Posting Komentar