Awalnya, Patapan diyakini sebagai peninggalan tradisi megalitik ( Jaman Prasejarah ). Bentuk bangunannya menyerupai bunden berundak yang banyak dijumpai pada bangunan-bangunan tradisi megalitikum. Dipercaya bahwa bangunan di situs ini digunakan kemudian ditinggalkan oleh mereka yang menganut tradisi megalitik. Dengan masuknya pengaruh budaya Hindu, bangunan Patapan digunakan sebagai bangunan suci, kemudian dengan masuknya budaya Islam, bangunan ini digunakan sebagai tempat menyepi (tilakat) (Djaenuderadjat, 2001:33-35). . Hal seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut cerita rakyat setempat, situs
Patapan dibuat pada masa pemerintahan Kesultanan Banten. Pada saat itu
digunakan sebagai tempat meditasi, sesuai dengan namanya
"Patapan/Pertapaan", berasal dari kata tapa atau meditasi. Konon juga
dulunya digunakan sebagai tempat pertemuan para ulama dan santri yang bekerja
menyebarkan ajaran Islam di wilayah Banten. Cerita rakyat lain menyebutkan
bahwa Prabhu Puchuk Umun, Raja Banten Girang, dan para pengikutnya membuat meja
dan kursi untuk bermusyawarah. Puchuk Umun dan pengikutnya kemudian melarikan
diri, melompat ke rawa-rawa Ci ateul untuk menghindari kejaran Sultan Banten.
Setelah itu Prabu pucuk umun menghilang. Rawa Ci ateul tempat larinya Prabu
Pucuk Umun kini disebut Kampong Bunian.
Namun berdasarkan hasil survei Balai
Arkeologi Bandung (1996 dan 1997-1998) dan hasil survei teknis Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (2003), situs Patapan secara
arsitektural dan teknis merupakan bangunan candi. Bangunan kompleks Patapan
membentuk langkan bujursangkar berukuran 10 x 10 m (Balai Purbakala Bandung
menyebutkan ukurannya 15 x 15 m). Batur terdiri dari satu lapisan batu pasir
putih di bagian luar dan tanah keras bercampur serpihan batu pasir di bagian
dalam. Sebuah altar pemujaan berdiri di tengah batu batu berbentuk kursi bundar
yang bejumlah 9 buah
Dengan analogi dengan
bentuk bangunan dan garis yoni pada altar, dapat dikatakan bahwa bangunan di
Patapan untuk sementara adalah candi Hindu, namun tidak jelas kapan candi ini
digunakan. Namun, kawasan Cikande tak jauh dari Patapan disebut dalam catatan
Tom Pires yang berkunjung ke Banten pada 1513. Cheguide (Cikande?) adalah kota
perdagangan zaman Hindu di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, dan konon
barangnya sama dengan Banten dan Pondang (Pontang?) (Fallah, 1998). . ).
Reruntuhan situs Patapan di Desa Nagara dulunya adalah masuk kedalam kecamatan
Chikande secara geografis dan administratif, namun karena pembagian wilayah
pada tahun 2001, situs saat ini terletak di ujung selatan Kecamatan kibin
tepatnya di Kampung Patapan Desa Nagara Kecamatan Kibin Kabuapten Serang Banten.
0 Response to "SITUS PATAPAN ANTARA CERITA RAKYAT DAN AHLI ARKEOLOGI"
Posting Komentar